Ki Manteb Soedarsono Mendapat Hidayah dari Buah Hatinya Oleh : Mukminin Ki Manteb Soedarsono adalah seorang dalang wayang kulit ternama yang dari Jawa Tengah. Karena keterampilannya dalam memainkan wayang, ia pun dijuluki para penggemarnya sebagai Dalang Setan ( karena kemampuannya menggerakkan wayang / sebetan dengan sangat cepat dan berputar-putar. Ia juga dianggap sebagai pelopor perpaduan seni pedalangan dengan peralatan musik modern. Wikipedia. Ki Manteb Sudarsono lahir Selasa Legi 31Agustus 1948 di dukuh Jati Malang, Kelurahan Palur, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Meninggal dunia usia 72 tahun tepatnya 2 Juli 2021 pukul 09.41 di rumah duka dukuh Suwono, desa Ndomplang, Kecamatan..... Beliau lahir dari keluarga seniman dalang. Kakeknya Dalang Tus adalah dalang kondang, ayahnya Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo yang sangat disegani pada masa kejayaannya dan ibunya presiden dan perawit yang berpengalaman. Para penggemar dan pemirsa sangat hafal dengan Ki Dalang Manteb Soedarsono, apalagi beliau menjadi sponsor iklan oskadon di televisi. Degan memegang wayang meneriakkan " Oskadon, pancen, Oye ! Ki Manteb Sudarsono pemegang Rekor Muri dengan predikat mendalang 24 jam tanpa henti dengan lakon perang Baratayudha di RRI Semarang tanggal 4-5 September 2014. Ki Dalang Manteb Sudarsono adalah seorang Mu'alaf kejawen Bani Rahayu. Beliau masuk Islam atas petunjuk Allah lewat putranya yang bernama Danang. Mari kita ikuti kisah selanjutnya yang saya dicopas dari resume saudara saya Helmy Tanjung S. Penyair Lamongan yang sangat apik dan beliau copas dari http:m.republika.co.id/berita/97402/Ki-manteb-soedarsono-hidayah-lewat-sang-buah-hati Ki Dalang Manteb Soedarsono adalah seorang kejawen, kejawen nyel, anti syariat islam, seorang pluralisme agama yang menganggap semua agama itu sama saja alias podo wae.. Pindah-pindah agama bagi beliau itu sudah biasa, pindah ke islam, pindah ke katolik, pindah ke budha itu hal biasa bagi beliau.. Tapi Allah berkata lain, kerasnya hati ki dalang setan ini luluh oleh "kerasnya hati" Danang anaknya.. Kalau ki dalang keras hati dalam kejawennya maka danang sebaliknya, keras hati dalam komitmen keislamannya.. Danang, bocah mungil kelas 3 SD yang keras hati dalam komitmen islam mampu meluluhkan keras hati ayahandanya. Singkat cerita, singkat tapi panjang ya.. Hahaha Baca pelan2 deh.. Seru ceritanya, sayang kalau dilewatkan.. Saat itu ia tengah duduk termenung di teras rumah di Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Cuaca gerah lantaran sengatan terik matahari persis di atas ubun-ubun. Ia melihat si anak, Danang, dan bocah sebayanya, tengah berjalan kaki di pematang sawah hendak menjalankan shalat Jumat. ''Wow iya, bocah semono mlaku telung kilometer turut galengan panas-panas neng desa tonggo mung arep shalat Jemuah, (Oh iya, anak segitu jalan kaki tiga kilometer di pematang sawah, panas-panas, ke desa tetangga hanya untuk melaksanakan shalat Jumat),'' batinnya. Saat itu, keimanan Ki Manteb, masih campur aduk. Islam tidak, Hindu tidak, dan Kristen juga tidak. Melihat anaknya sedang menuju masjid, terenyuh juga hatinya yang keras bagai batu itu. Ia terketuk. Dalam hatinya, ia berkata, Seandainya di dekat rumahnya ada masjid, pasti anaknya tidak lari panas-panas di pematang sawah sambil menggamit kain sarung kalau hanya untuk melaksanakan shalat Jumat. Menjelang pelaksanaan shalat Jumat, Ki Manteb menghampiri si anak. Ia menyarankan, agar anaknya naik mobil diantar sopir menuju masjid, biar tidak kepanasan. Tak dinyana, sarannya itu ditampik sang anak. Anaknya bersikap acuh. dan mengatakan sesuatu yang sangat menusuk hatinya. ''Mending jalan. Biar jauh jaraknya ke masjid, pasti pahalanya banyak. Saya mau naik mobil, asal bapak juga ikut shalat,'' tegas Danang. Pernyataan anaknya itu, benar-benar membuatnya harus berpikir keras. Namun, tak sempat ia memberikan jawaban, sang anak sudah pergi. Tinggal dia sendiri sambil termenung. Ia membayangkan sikap anaknya yang atos (keras) seperti sikapnya selama ini. Ia merasa berat melaksanakan shalat. Jangankan shalat Jumat, shalat lima waktu lainnya pun sering ia tinggalkan. Namun, sikap anaknya yang keras dan mengatakan hanya akan mau naik mobil kalau dia juga shalat, terus membayanginya. Ia lalu berencana untuk membangun masjid di dekat rumahnya. Tak berapa lama kemudian, rencananya itu ia wujudkan dengan membangun masjid. Apalagi, ketika itu kariernya sebagai dalang, juga makin naik pamor. Dan dalam tempo delapan bulan, berdirilah sebuah masjid. Persis di depan rumahnya. Namun, ketika masjid sudah berdiri, bukannya tambah senang, sebaliknya ia merasa hatinya tambah gundah. Sebab, ia tidak pernah datang ke masjid. Apalagi melakukan shalat di dalamnya. Hampir setiap hari, Ki Manteb jadi bahan ejekan dan olok-olokan rekan seprofesinya. Saban pentas wayang kulit sebulan sekali, Selasa Legen memperingati hari kelahirannya di rumahnya, ia mesti kena sindir. Setiap dalang yang pentas mengkritik. ''Lha iya, sudah bangun masjid megahnya seperti ini, kok belum shalat juga,'' sindir para dalang itu. Begitu juga dengan sikap Danang. Si kecil ini tak bosan-bosan mengajaknya untuk mendirikan shalat. Bahkan, si bocah yang baru kelas tiga SD itu, meminta bantuan Ki Anom Suroto salah seorang dalang senior agar membujuk bapaknya untuk shalat. ''Pakde, mbok bapak diajak shalat. Wong sudah membangun masjid, kok belum shalat juga,'' rayu Danang pada Ki Anom. Dan, dalang kondang asal Solo itu pun terenyuh dengan permintaan Danang. Ia membujuk Ki Manteb untuk mendirikan shalat. Berbagai bujukan dan rayuan, baik dari anaknya maupun rekan sesama dalang, tak menggoyahkan hati Ki Manteb untuk mengerjakan shalat. Ia malah makin kukuh pada keyakinannya. Islam tanpa harus shalat. Hatinya mengeras bagai batu karang. Tak runtuh oleh deburan ombak yang keras. Namun, upaya Danang tak berhenti sampai di situ. Sikap keras ayahnya, ia lawan dengan keras pula. Mogok. Danang emoh pulang dan tinggal di rumah. Ia lebih memilih masjid sebagai sarana untuk mengubah sikap ayahnya. Hari-harinya dihabiskan di masjid. Berangkat sekolah dari masjid. Pulang sekolah juga ke masjid. Tidak mau pulang ke rumah. Tidur juga di masjid. Kalau tidak dikirim makanan dari rumah, juga tidak mau makan. Ibundanya, Srisuwarni, yang mengalah. Setiap hari, sang bunda mengirim bekal makan ke masjid untuk anak tercinta. Melihat hal ini, emosi dalang pengagum sosok Buto Cakil dan 'Ketek' Anoman ini, makin tak keruan. Ia dongkol campur jengkel. Ki Manteb menganggap anak ragil (bungsu), sudah tidak bisa diatur. Batinnya muntab. ''Dasar anak kurang ajar, berani mengatur orang tua,'' batin Ki Manteb. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga bertahun-tahun, perang urat syaraf antara anak dan bapak ini, tak berhenti juga. Belum ada gencatan senjata atau kata damai di antara keduanya. Perang terus berlanjut, hingga tiga tahun lamanya. Selama itu pula, Ki Manteb dan anaknya neng-nengan (diam, tak bertegur sapa) dengan anaknya, Danang. Tidak ada komunikasi ini sejak Danang duduk di kelas tiga hingga kelas enam SD. ''Anak itu saya biarkan selama tiga tahun, dari 1992 sampai 1995,'' ungkap Ki Manteb. Namun, hidayah Allah SWT, akhirnya mampu membuka hati Ki Manteb yang keras bagai batu itu menjadi lembut. Ketika itu, Desember 1992, istrinya, Srisuwarni, dan kedua anaknya (Danang dan Gatot) hendak melaksanakan umrah. Mereka bertiga, hendak pamit ke Tanah Suci. Dari sini, mulai muncul kesadaran Ki Manteb. ''Saya ini bekerja cari duit, ya untuk anak istri. Masak, anak istri di Makkah, saya ongkang-ongkang sendirian di rumah,'' ujarnya. '' Keglelengan (kesombongan) saya saat karier menanjak, duit banyak, saat itu runtuh perlahan-lahan. Ini semua karena terpengaruh anak-istri. Maka, saya memutuskan, saya harus ikut umrah juga,'' lanjutnya. Ia mengaku kalah dengan sikap anaknya. Karena itu, sebelum berangkat umrah, Ki Manteb mengikrarkan diri mengucap dua kalimat syahadat di masjid yang dibangunnya. Kalangan seniman, pejabat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama diundang. Termasuk Bupati Karanganyar saat itu, Sudarmaji. Pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, KH Muhammad Amir SH, yang menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Awalnya, Ki Manteb mengaku, tak begitu yakin dengan semua agama yang ada. Baginya, agama apa pun, sama saja. Karena itu pula, ia pernah mengikuti semua agama dan aliran kepercayaan. Pernah menjadi penganut agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, maupun beragam aliran kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (YME). Berpindah-pindah agama hal yang biasa. Dan, selalu berakhir dengan ketidakyakinan dan ketenteraman. Menurut Ki Manteb, kala itu, semua agama itu baik. Semua itu tergantung pada manusia yang menjadi penganutnya. Namun, setelah memahami dan mendalami serta merasakan betapa kuatnya keyakinan sang anak terhadap agama Islam, ia pun merasa lebih tenteram saat menjadi seorang Muslim. ''Hati ini teduh, damai, dan pasrah pada Tuhan,'' terangnya. Maka, pada 1996, bersama keluarganya, Ki Manteb menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, ia sempat mengisi pentas wayang kulit di Hari Ulang Tahun (HUT) Taman Mini Indonesia Indah (TMII) atas permintaan Pak Harto dan Ibu Tien. Ketika itu, Pak Harto mendoakannya agar menjadi haji yang mabrur. Dan saat tengah menunaikan ibadah haji, ia menerima kabar bahwa Ibu Tien Soeharto meninggal dunia. Seusai melaksanakan rukun Islam yang kelima, ia pun menyandang predikat haji. Nama itu, ternyata menambah beban baginya. Sebab, sepulang dari haji itu, berbagai olok-olokan kembali dialaminya dari sesama dalang. Ada yang menyebutnya sebagai kaji abangan, kaji kejawen, kaji merah, kaji campur bawur, kaji etok-etokan, dan sebagainya. Namun, semua itu ia abaikan. Ia yakin, yang mengolok-olok itu belum tentu lebih baih baik dari yang diolok-olok. ''Malah sudo (berkurang) dosanya,'' katanya. Sejak menjadi Muslim, Ki Manteb Sudarsono merasakan sebuah keajaiban dalam dirinya. Ia merasa semakin pasrah dan tawakkal kepada Allah. Dahulunya, kata Ki Manteb, hidupnya serba kemrungsung (tergesa-gesa). ''Kalau lagi sepi job (kerja), saya bingung, gelisah. Nanti makan dari mana, ya. Namun, sekarang lebih semeleh (berserah diri). Ada job atau tidak, biasa saja. Semua rezeki, Allah yang mengatur,'' terangnya. Dan, benar saja. Semua dijalani mengalir seperti air. Falsafah Jawa, Urip iku sakdermo nglakoni (Hidup itu hanya sekadar menjalankan), terasa tepat untuknya. Kalau lagi sepi job, justru ia manfaatkan untuk beribadah. Dan kalau lagi ramai tanggapan (permintaan), ia senantiasa ingat Allah. ''Sekarang lebih gampang bersyukur. Selalu bersikap pasrah dan berserah diri kepada yang kuasa. Hidup ini dinikmati serba tenteram dan damai selalu,'' ujarnya. Ki Manteb menyatakan, seorang dalang memiliki peran yang sangat penting. Terutama dalam upaya sosialisasi, penerangan, dan mengajak masyarakat pada kebaikan. Karena itu, dibutuhkan wawasan dan pengetahuan keagamaan untuk mengajak orang. ''Dalang mesti mampu menyampaikan pesan amar ma'ruf nahi munkar dalam dunia pekeliran,'' ujarnya. Selamat jalan Ki Manteb Soedarsono ke kehidupan yang sebenarnya, semoga amal shaleh Ki Manteb yang ditinggalkan diterima Allah Swt dan menjadi inspirasi bagi kita semua dan semoga Husnul khotimah. Aamiin Yra. Sumber : https://m.republika.co.id/berita/97402/ki-manteb-soedarsono-hidayah-lewat-sang-buah-hati

 Ki Manteb Soedarsono Mendapat Hidayah dari Buah Hatinya 


Oleh : Mukminin


Ki Manteb Soedarsono adalah seorang dalang wayang kulit ternama yang dari Jawa Tengah. Karena keterampilannya dalam memainkan wayang, ia pun dijuluki para penggemarnya sebagai Dalang Setan ( karena kemampuannya menggerakkan wayang / sebetan dengan sangat cepat dan berputar-putar. Ia juga dianggap sebagai pelopor perpaduan seni pedalangan dengan peralatan musik modern. Wikipedia.


Ki Manteb Sudarsono lahir Selasa Legi 31Agustus 1948 di dukuh  Jati Malang, Kelurahan Palur, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Meninggal dunia usia 72 tahun tepatnya 2 Juli 2021 pukul 09.41 di rumah duka dukuh Suwono, desa Ndomplang, Kecamatan..... Beliau lahir dari keluarga seniman dalang. Kakeknya Dalang Tus adalah dalang kondang, ayahnya Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo yang sangat disegani pada masa kejayaannya dan ibunya presiden dan perawit yang berpengalaman.


Para penggemar dan pemirsa sangat hafal dengan Ki Dalang Manteb Soedarsono, apalagi beliau menjadi sponsor iklan oskadon di televisi. Degan memegang wayang meneriakkan " Oskadon, pancen, Oye !


Ki Manteb Sudarsono pemegang Rekor Muri dengan predikat mendalang 24 jam tanpa henti dengan lakon perang Baratayudha di RRI Semarang tanggal 4-5 September 2014.



Ki Dalang Manteb Sudarsono adalah seorang Mu'alaf kejawen Bani Rahayu. Beliau masuk Islam atas petunjuk Allah lewat putranya  yang bernama Danang. 


Mari kita ikuti kisah  selanjutnya yang saya dicopas dari resume saudara saya Helmy Tanjung S. Penyair Lamongan yang sangat apik dan beliau copas dari http:m.republika.co.id/berita/97402/Ki-manteb-soedarsono-hidayah-lewat-sang-buah-hati

 

Ki Dalang Manteb Soedarsono adalah seorang  kejawen, kejawen nyel, anti syariat islam, seorang pluralisme agama yang menganggap semua agama itu sama saja alias podo wae..


Pindah-pindah agama bagi beliau itu sudah biasa, pindah ke islam, pindah ke katolik, pindah ke budha itu hal biasa bagi beliau..


Tapi Allah berkata lain, kerasnya hati ki dalang setan ini luluh oleh "kerasnya hati" Danang anaknya.. 


Kalau ki dalang keras hati dalam kejawennya maka danang sebaliknya, keras hati dalam komitmen keislamannya..


Danang, bocah mungil kelas 3 SD yang keras hati dalam komitmen islam mampu meluluhkan keras hati ayahandanya. 


Singkat cerita, singkat tapi panjang ya.. Hahaha

Baca pelan2 deh.. Seru ceritanya, sayang kalau dilewatkan..


Saat itu ia tengah duduk termenung di teras rumah di Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Cuaca gerah lantaran sengatan terik matahari persis di atas ubun-ubun. Ia melihat si anak, Danang, dan bocah sebayanya, tengah berjalan kaki di pematang sawah hendak menjalankan shalat Jumat.


''Wow iya, bocah semono mlaku telung kilometer turut galengan panas-panas neng desa tonggo mung arep shalat Jemuah, (Oh iya, anak segitu jalan kaki tiga kilometer di pematang sawah, panas-panas, ke desa tetangga hanya untuk melaksanakan shalat Jumat),'' batinnya.


Saat itu, keimanan Ki Manteb, masih campur aduk. Islam tidak, Hindu tidak, dan Kristen juga tidak. Melihat anaknya sedang menuju masjid, terenyuh juga hatinya yang keras bagai batu itu. Ia terketuk. Dalam hatinya, ia berkata, Seandainya di dekat rumahnya ada masjid, pasti anaknya tidak lari panas-panas di pematang sawah sambil menggamit kain sarung kalau hanya untuk melaksanakan shalat Jumat.


Menjelang pelaksanaan shalat Jumat, Ki Manteb menghampiri si anak. Ia menyarankan, agar anaknya naik mobil diantar sopir menuju masjid, biar tidak kepanasan. Tak dinyana, sarannya itu ditampik sang anak. Anaknya bersikap acuh. dan mengatakan sesuatu yang sangat menusuk hatinya. ''Mending jalan. Biar jauh jaraknya ke masjid, pasti pahalanya banyak. Saya mau naik mobil, asal bapak juga ikut shalat,'' tegas Danang.


Pernyataan anaknya itu, benar-benar membuatnya harus berpikir keras. Namun, tak sempat ia memberikan jawaban, sang anak sudah pergi. Tinggal dia sendiri sambil termenung. Ia membayangkan sikap anaknya yang  atos (keras) seperti sikapnya selama ini. Ia merasa berat melaksanakan shalat. Jangankan shalat Jumat, shalat lima waktu lainnya pun sering ia tinggalkan.


Namun, sikap anaknya yang keras dan mengatakan hanya akan mau naik mobil kalau dia juga shalat, terus membayanginya. Ia lalu berencana untuk membangun masjid di dekat rumahnya. Tak berapa lama kemudian, rencananya itu ia wujudkan dengan membangun masjid. Apalagi, ketika itu kariernya sebagai dalang, juga makin naik pamor. Dan dalam tempo delapan bulan, berdirilah sebuah masjid. Persis di depan rumahnya.


Namun, ketika masjid sudah berdiri, bukannya tambah senang, sebaliknya ia merasa hatinya tambah gundah. Sebab, ia tidak pernah datang ke masjid. Apalagi melakukan shalat di dalamnya. Hampir setiap hari, Ki Manteb jadi bahan ejekan dan olok-olokan rekan seprofesinya. Saban pentas wayang kulit sebulan sekali,  Selasa Legen memperingati hari kelahirannya di rumahnya, ia mesti kena sindir. Setiap dalang yang pentas mengkritik. ''Lha iya, sudah bangun masjid megahnya seperti ini,  kok belum shalat juga,'' sindir para dalang itu.


Begitu juga dengan sikap Danang. Si kecil ini tak bosan-bosan mengajaknya untuk mendirikan shalat. Bahkan, si bocah yang baru kelas tiga SD itu, meminta bantuan Ki Anom Suroto salah seorang dalang senior agar membujuk bapaknya untuk shalat.


''Pakde, mbok bapak diajak shalat. Wong sudah membangun masjid, kok belum shalat juga,'' rayu Danang pada Ki Anom. Dan, dalang kondang asal Solo itu pun terenyuh dengan permintaan Danang. Ia membujuk Ki Manteb untuk mendirikan shalat.


Berbagai bujukan dan rayuan, baik dari anaknya maupun rekan sesama dalang, tak menggoyahkan hati Ki Manteb untuk mengerjakan shalat. Ia malah makin kukuh pada keyakinannya. Islam tanpa harus shalat. Hatinya mengeras bagai batu karang. Tak runtuh oleh deburan ombak yang keras.


Namun, upaya Danang tak berhenti sampai di situ. Sikap keras ayahnya, ia lawan dengan keras pula. Mogok. Danang emoh pulang dan tinggal di rumah. Ia lebih memilih masjid sebagai sarana untuk mengubah sikap ayahnya.


Hari-harinya dihabiskan di masjid. Berangkat sekolah dari masjid. Pulang sekolah juga ke masjid. Tidak mau pulang ke rumah. Tidur juga di masjid. Kalau tidak dikirim makanan dari rumah, juga tidak mau makan.


Ibundanya, Srisuwarni, yang mengalah. Setiap hari, sang bunda mengirim bekal makan ke masjid untuk anak tercinta. Melihat hal ini, emosi dalang pengagum sosok Buto Cakil dan 'Ketek' Anoman ini, makin tak keruan. Ia dongkol campur jengkel. Ki Manteb menganggap anak  ragil (bungsu), sudah tidak bisa diatur. Batinnya muntab. ''Dasar anak kurang ajar, berani mengatur orang tua,'' batin Ki Manteb.


Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga bertahun-tahun, perang urat syaraf antara anak dan bapak ini, tak berhenti juga. Belum ada gencatan senjata atau kata damai di antara keduanya. Perang terus berlanjut, hingga tiga tahun lamanya.


Selama itu pula, Ki Manteb dan anaknya neng-nengan (diam, tak bertegur sapa) dengan anaknya, Danang. Tidak ada komunikasi ini sejak Danang duduk di kelas tiga hingga kelas enam SD. ''Anak itu saya biarkan selama tiga tahun, dari 1992 sampai 1995,'' ungkap Ki Manteb.


Namun, hidayah Allah SWT, akhirnya mampu membuka hati Ki Manteb yang keras bagai batu itu menjadi lembut. Ketika itu, Desember 1992, istrinya, Srisuwarni, dan kedua anaknya (Danang dan Gatot) hendak melaksanakan umrah. Mereka bertiga, hendak pamit ke Tanah Suci.


Dari sini, mulai muncul kesadaran Ki Manteb. ''Saya ini bekerja cari duit, ya untuk anak istri.  Masak, anak istri di Makkah, saya ongkang-ongkang sendirian di rumah,'' ujarnya. '' Keglelengan (kesombongan) saya saat karier menanjak, duit banyak, saat itu runtuh perlahan-lahan. Ini semua karena terpengaruh anak-istri. Maka, saya memutuskan, saya harus ikut umrah juga,'' lanjutnya. Ia mengaku kalah dengan sikap anaknya.


Karena itu, sebelum berangkat umrah, Ki Manteb mengikrarkan diri mengucap dua kalimat syahadat di masjid yang dibangunnya. Kalangan seniman, pejabat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama diundang. Termasuk Bupati Karanganyar saat itu, Sudarmaji. Pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, KH Muhammad Amir SH, yang menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat.


Awalnya, Ki Manteb mengaku, tak begitu yakin dengan semua agama yang ada. Baginya, agama apa pun, sama saja. Karena itu pula, ia pernah mengikuti semua agama dan aliran kepercayaan. Pernah menjadi penganut agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, maupun beragam aliran kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (YME). Berpindah-pindah agama hal yang biasa. Dan, selalu berakhir dengan ketidakyakinan dan ketenteraman. Menurut Ki Manteb, kala itu, semua agama itu baik. Semua itu tergantung pada manusia yang menjadi penganutnya.


Namun, setelah memahami dan mendalami serta merasakan betapa kuatnya keyakinan sang anak terhadap agama Islam, ia pun merasa lebih tenteram saat menjadi seorang Muslim. ''Hati ini teduh, damai, dan pasrah pada Tuhan,'' terangnya.


Maka, pada 1996, bersama keluarganya, Ki Manteb menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, ia sempat mengisi pentas wayang kulit di Hari Ulang Tahun (HUT) Taman Mini Indonesia Indah (TMII) atas permintaan Pak Harto dan Ibu Tien. Ketika itu, Pak Harto mendoakannya agar menjadi haji yang mabrur. Dan saat tengah menunaikan ibadah haji, ia menerima kabar bahwa Ibu Tien Soeharto meninggal dunia.


Seusai melaksanakan rukun Islam yang kelima, ia pun menyandang predikat haji. Nama itu, ternyata menambah beban baginya. Sebab, sepulang dari haji itu, berbagai olok-olokan kembali dialaminya dari sesama dalang. Ada yang menyebutnya sebagai kaji abangan, kaji kejawen, kaji merah, kaji campur bawur, kaji etok-etokan, dan sebagainya. Namun, semua itu ia abaikan. Ia yakin, yang mengolok-olok itu belum tentu lebih baih baik dari yang diolok-olok. ''Malah  sudo (berkurang) dosanya,'' katanya.


Sejak menjadi Muslim, Ki Manteb Sudarsono merasakan sebuah keajaiban dalam dirinya. Ia merasa semakin pasrah dan tawakkal kepada Allah. Dahulunya, kata Ki Manteb, hidupnya serba  kemrungsung (tergesa-gesa). ''Kalau lagi sepi  job (kerja), saya bingung, gelisah. Nanti makan dari mana, ya. Namun, sekarang lebih  semeleh (berserah diri). Ada  job atau tidak, biasa saja. Semua rezeki, Allah yang mengatur,'' terangnya.


Dan, benar saja. Semua dijalani mengalir seperti air. Falsafah Jawa,  Urip iku sakdermo nglakoni (Hidup itu hanya sekadar menjalankan), terasa tepat untuknya. Kalau lagi sepi  job, justru ia manfaatkan untuk beribadah. Dan kalau lagi ramai tanggapan (permintaan), ia senantiasa ingat Allah. ''Sekarang lebih gampang bersyukur. Selalu bersikap pasrah dan berserah diri kepada yang kuasa. Hidup ini dinikmati serba tenteram dan damai selalu,'' ujarnya.


Ki Manteb menyatakan, seorang dalang memiliki peran yang sangat penting. Terutama dalam upaya sosialisasi, penerangan, dan mengajak masyarakat pada kebaikan. Karena itu, dibutuhkan wawasan dan pengetahuan keagamaan untuk mengajak orang. ''Dalang mesti mampu menyampaikan pesan  amar ma'ruf nahi munkar dalam dunia pekeliran,'' ujarnya.



Selamat jalan Ki Manteb Soedarsono ke kehidupan yang sebenarnya, semoga amal shaleh Ki Manteb yang ditinggalkan diterima Allah Swt dan menjadi inspirasi bagi kita semua dan semoga Husnul khotimah. Aamiin Yra. 



Sumber : https://m.republika.co.id/berita/97402/ki-manteb-soedarsono-hidayah-lewat-sang-buah-hati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CURICULUM VITAE MUKMININ, S.Pd.M.Pd..

Mengapa Naskah Buku Kita Ditolak Tim ISBN?

Menenun Mimpi Menggapai Asa Tahun 2023