PENGANTAR Kidung Hati SAJAK
PENGANTAR Kidung Hati SAJAK
Derita Itu Bahagia
Oleh: Dr. Sariban *
Hidup hanyalah merasakan. Merasakan saat ini, di sini, dan begini. Ketika ‘ngomong’ begini, tidak semua kita dapat menerjemahkan secara teliti. Penjelasan begini menyangkut susasana hati, kepekaan, kesadaran dengan waktu, penerjemahan rasa. Maka, sajak-sajak Cak Inin Mukminin dalam buku ini dapat kita pahami sebagai kecerdasan penyairnya dalam menerjemahkan rasa atas keadaan begini ketika sajak-sajak itu ditulis.
Pemahaman kita kemudian dalam memahami nikmatnya membaca sajak Kidung Hati ini adalah menempatkan ruang-ruang imaji kejadian-kejadian hari ini. Kejadian, peristiwa, keadaan begini yang terjadi saat inilah yang menjadi objek imaji Cak Inin.
Jika pun kemudian ditelusuri lebih masuk lagi, maka semua peristiwa hari ini yang tereduksi dalam sajak-sajak Kidung Hati i adalah pandemi. Kita dengan mudah dapat melihat diksi judul puisi ini misalnya: Suara Adzan Berkumandang, Subuh yang Tertunda, Semua Serba Mungkin, Masker Pengingat Diri, dan Pasar Pahing Kalen New Normal.
Sebagai wakil masyarakat kolektif, Cak Inin menempatkan dirinya sebagai corong pribadi prihatin atas konsep ‘jaga jarak’ sebagai protokol penyelesaian pandemi. ‘Jaga jarak’ yang kemudian diberlakukan dalam ritus religi menghadirkan kegersangan praktik perjamaahan yang selama ini menjadikan kekuatan umat. Lihatlah rasa prihatin Cak Inin melalui sajak “Fitri Datang Masjid Lengang” dengan salah satu larik sajak: Idul Fitri datang masjidku lengang/Suara tadarus di corong-corong sunyi senyap ditelan kebisingan lalu lintas ucapan/Maafkan aku Tuhan//.
Pandemi corona di mata sang penyair membuyar membentuk partikel-partikel puing imaji derita, friksi sosial, kematian, jumpalitan mental manusia, pro-konra larangan ibadah berjamaah, pemutusan hubungan sosial, reduksi kepanikan masyarakat, dan pada simpul tesis betapa manusia ringkih dan Tuhan itu perkasa.
Cak Inin memberi jalan indah dalam suasana pandemi begini. Ketetapan iman atas keyakinan berketuhanan yang baik adalah jalan untuk tidak terus lari dalam kepanikan. Setidaknya sajak “Sujud pada Sajadah Panjang” memberi ruang tenang masyarakat pembaca. Inilah larik obat ketenangan yang ditawarkan sang penyair: Hening malam sujud pada sajadah panjang tumpah harapan berlama-lama dengan kekasihNya tiada batas pemisah bercakap tumpahkan renik problem kehidupan ...
#
Masyarakat yang Rapuh
Sebaliknya, dalam ketaksiapan mental masyarakat oleh pandemi yang berlangsung lama, terlihat betapa rapuh kejiwaan masyaakat kita. Kerapuhan itu didorong oleh rasa keluar dari masalah tetapi tak kunjung usai pandemi ini. Semakin banyak opini berkembang penyelesaian pandemi, semakin riuh pula ulah masyarakat kita dalam mengikhtiarinya. Sementara itu, hasilnya tak kunjung tiba.
Kabar kematian di mana-mana. Sebagai hukum sosial, mayoritas manusia takut sakit dan mati. Karena ketakutan, kabar kematian saja ya sudah menakutkan. Meski kematian adalah kepastian, kita merasa miris pula membacai sajak “Purnama Tersenyum Kembali” yang larik sajaknya begini: ...// Peti mati berjatuhan tiap hari/ Sirine ambulan mati maraung-raung saban hari meluluh hati/ Pangeduk makam siang malam tanpa henti/ Sampai angkat tangan tak kuat keduk lagi// Pasukan keduk yang lain datang mengganti/ 90 x 2 M rumah baru harus tersaji/ Keduk makam tanpa minta upeti/ Hanya sekedar amplop kecil menempel di cangkul berlepotan tanah dan basah tetes keringat membasahi// Satu bulan Juni 32 saudara-saudaraku muslim dipanggil menghadap kembali/ Ke alam akhirat 16 terpatri peti mati/ Tanda covid-19 menggrogoti/ Di depan ambulan kami shalati/ Dijaga diantar babinsa dan polisi bersama tukang pemakaman dari rumah sakit berpakaian prokes penuh hati-hati...//
Kerapuhan kita sebagai manusia nyata di depan mata. Kita, melalui pelajaran pandemi ditunjukkan oleh Tuhan, betapa tak berdayanya. Dalam ketakberdayaan itu semakin tak berdayanya lagi oleh persepsi-persepsi opini yang tak mampu membangun ketenangan diri. Sajak “Rindu Senyum Bersama” melukiskan begini: .... Celotehan suara, tulisan, warta menghipnotis disebar bagai bunga/ Perang opini bertanding menyesakkan dada/ ...//.
Dampak psikologis takut, resah, dan ketidaktenangan, masyarakat teramat rapuh dalam penggiringan informasi. Maka yang terjadi gejala sosial masyarakat ikut-ikutan. Lihatlah sajak “Berebut Susu”:
"Ha ha ha berebut susu berebut susu susu siapa susu itu? Kok jadi viral melulu susu siapa susu itu susuku atau susumu kok jadi rebutan melulu lupakah kamu pada menyusu ibumu 24 bulan berlalu sudah kau bayarkah air susu ibumu? Kau anggap itu semu itu hanya cerita masa lalu mengapa susu kaleng beruang kau eluelu padahal kau lupa hadiah gratis air susu ibumu seperti orang tak tahu malu.
Oh kita tertipu bukankah itu susu beruang kita sendiri sudah bokek setahun lalu hahaha mengapa mengikut bikin hidup kagetan gumunan panikan hahaha bukankah kita lama belajar tentang menyusu dua puting ibu tak keburu meski ayah menunggu hahaha."
Diksi-diksi yang dipilih Cak Inin dalam membangun sajak di atas menyimbolkan betapa masyarakat kita masih belum matang. Masyarakat yang rapuh ditandai oleh mudahnya informasi dipahami sebagai kebenaran. Masyarakat kita masih labil dan ini sebagai salah satu pemicu friksi sosial.
Muara Keluarga
Pada akhirnya ke mana pun kita pergi, keluarga selalu pohon terakhir tempat kita kembali. Kita tahu Cak Inin banyak melakukan pengembaraan, toh muaranya juga pada keluarga. Keluarga adalah kekuatan. Keluarga adalah rumah asal dan akhir. Hubungan bapak, ibu, dan anak yang diikat darah nasab tentu tak bisa tergantikan oleh apa pun. Sebab, jika pun kita sakit, yang menunggui tentu isteri, suami, atau anak, dan bukan orang lain.
Wajar Cak Inin begitu mencintai isteri dan anak-anaknya. Kita bisa melihat sajak Untuk Istriku Tercinta, Puisi Milad Anakku Filo Sofia K.M., Puisi Milad Anakku Annisa' Hanifa M. Dari cara penyair bercerita, dapat kita kembali menguji hipotesis bahwa keluarga selalu pohon indah bagi kita untuk berteduh dan bersarang.
Penyair menempatkan isteri sebagai teman. Teman pemberi energi kehidupannya. Hebatnya dia ya karena hebatnya isterinya. Maka, ketika sang isteri berulang tahun, Cak Inin menjadikan momen ini sebagai waktu yang paling tepat untuk mencurahkan rasa hatinya.
Sajak “Untuk Istriku Tersayang” membuktikan betapa keluarga, terutama isteri, bagitu penting dalam masa jalan kehidupannya. Kata Cak Inin begini : Barokalloh fii umrik// Selamat milad ke 46 Sayangku// Kau selalu setia menemaniku dan aku bangga kau jadi istriku// Semoga Alloh selalu melimpahkan keberkahan untukmu dan keluarga kita serta dimudahkan segala urusan. Aamiin YRA//. Diksi yang lugu ini setidaknya mengajarkan kepada pembaca, terutama saya, betapa isteri harus disayangi, dimuliakan, dibanggakan karena dia adalah ruh oase keluarga.
#
Memang Cak Inin dalam buku kumpulan puisi ini memiliki kelonggaran dalam menampilkan karya-karyanya. Longgar dia tak hanya berbicara pandemi, derita olehnya, lingkungannnya, keluarganya, tetapi juga apa saja yang dirasakan yang jauh di luar itu, tentang kemerdekaan bangsa hingga tentang Marsinah tokoh buruh kita. Sebaliknya, ide sederhana pun jadi puisi dengan pesan moral sebagai ruhnya. Lihatlah sajak “Memancing” yang lariknya demikian:
" Mancingmemancing dan terpancing jadi makanan kita sehari-hari opini dilempar tiada henti pemancing tersenyum sendiri terpancing sikutsikutan dengan saudara sendiri demi sepotong roti rela mati lupa saudara sendiri".
Sajak ringan ini setidaknya mereduksi musim media sosial dimana opini saling tumpang-tindih dalam media maya yang terkadag berujung konflik.
Meski tampak kadang pembaca diajak kesana-kemari dalam diksi yang perlu terus di asah, sajak-asajak Cak Inin berjudul “Mendung Bukan Bencana” menawarkan kekuatan citra diri penyairnya. Mari kita nikmati: Mendung bukan berarti bencana. Angin akan membawa hujan turunkan air gemericik di atas bongkahan tanah kerontang rindukan hujan. Terik beraneka rupa biji-bijian di atas bongkahan yang terbungkam. //Mendung bukan bencana bisa ujian menuju kelulusan. Jalani penuh sabar, semangat ikhtiyar, berdekat-dekatan dengan Tuhan. //Mendung akan megindahkan bumi dengan pelangi dan rintik gerimis diiringi senyum sinar mentari di pagi hari disambut gindrang anak pinak lari kegirangan di pematang sawah ladang bersama angin sejuk menerpa hati penuh kedamaian.
Cukup beralasan sajak ini diletakkan di bagian awal dalam antologi ini. Setidaknya dalam musim derita, bahagia selalu ada. Bahagia itu ya bersandar Tuhan. Bahagia itu yang memaknai derita dalam energi kepasrahan Tuhan. Dalam kepasrahan selalu ada harapan karena Tuhan selalu memberi.
Jika Tuhan ditempatkan dalam setiap aliran darah dan hembusan nafas, yang ada adalah bahagia. Sakit ya bahagia. Hidup ya bahagia. Mati ya bahagia. Bahagia karena selalu dibersamai Tuhan. Suasana rasa begini sekali lagi, kata Cak Inin, harus dalam situasi mempribadi. Biarkan dunia lahir berjumpalitan dalam hiruk-pikuk pikiran resah. Sediakan bahagiamu melalui jalan sendiri dalam hening menghidupkan rasa malam sebagaimana tradisi orang-orang saleh seperti sajak “Beningkan Hati” yang lariknya idah begini: Beningkan hati dalam malam sunyi//Menyungkur di sajadah lembut nan suci// Hembusan damai tentram aliri sanubari....
Sebagai pemberi kata pengantar pembacaan sajak-sajak Cak Inin dalam buku ini, saya teramat ingin diajak Cak Inin dalam rasa begini. Tetapi, rasa itu sangat mempribadi. Maka, saya harus tahu diri. Dan entah tiba-tiba ketika menutup akhir kalimat pengantar ini saya ingat wajah Cak Inin berkeringat dalam baju Ihram basah letih bahagia usai tawaf di dekat Ka’bah. Dan, saya pun mendekapnya. []
Bumi Wali Tuban, 7 Agustus 2021
Dr. Sariban
[Dosen Pascasarjana Unisda Lamongan,
Universitas Sunan Bonang Tuban, dan Pengarang]

Alhamdulillah karya Bapak bagus seakan mewakili perasaan saya, mudah mudahan saya juga bisa menulis sajak atau puisi seperi Cakinin
BalasHapusAlhamdulilah bisa pak. Terima kasih
HapusLuar biasa..sangat menginpirasi untuk menulis setiap kejadian menjadi moment yg terkenang selamanya
BalasHapusTerima kasih. Msh belajar bun
HapusTulisan yang penuh makna untuk mengantarkan sebuah karya. Pembaca akan semakin dalam larut terbawa rasa ketika sudah menelusuri isi buku Cak Inin. Semoga saya bisa berkarya dan menerbitkan buku seperti beliau.
BalasHapusTerima kasih yakin busa pak. Sy juga masih belajar
HapusKeren Bapak....Di tengah kesibukan yang super padat masih bisa membukukan kumpulan puisi solo, salut, semoga bisa mengikuti jejaknya.
BalasHapusMenikmati hidup itu dengan bersyukur, selalu bersyukur membuat hati selalu bahagia, salam sehat cak, jangan lupa bahagia. Sukses terus ke depan! Salam literasi!
Aamiin terima kasih Bu Ledwina guru hebat dari Timur Indonesia yuk sempatkan betkarya untuk berbagi sesama
HapusSalut om kumpulan puisi yang luar biasa
BalasHapusTerima kasih Pak KS Magetan. Masih belajar
HapusSajak yang luar biasa Bapakku, sajak pembelajaran sosial dan emosional yang mateng dan siap tersaji di hati
BalasHapusTetima kasih smg bermanfaat
HapusLuar biasa goresan sajaknya menyayat kalbu
BalasHapusTerima kasih. Masih belajar bapak smg bermanfaat
Hapus